Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Prof Marsigit MA.
Etik dan Estetika Pertunjukan Wayang
Oleh : Insan Agung Nugroho/PmC 2017
Assalamu’alaikum
wr. wb.
Refelksi berikut bukanlah refleksi pertemuan perkuliahan seperti
biasanya, tetapi refleksi dari pertunjukan wayang kulit di Pendopo Museum
Sonovudoyo Yogyakarta. Prof Marsigit memberikan sebuah tugas untuk mengungkap
etik dan estetika pertunjukan wayang, lebih dalam ke isi ceritanya.
Pertunjukkan wayang yang diadakan di Museum Sonobudoyo ini terdiri
dari delapan episode, setiap episode ditampilkan dalam satu kali pertunjukkan
setiap malamnya pada pukul 20.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Kali ini saya
berkesempatan untuk menyaksikan pertunjukkan pada hari Kamis tanggal 21
Desember 2017 bersama kedua teman kelas saya. Saat itu, episode yang sedang
dipertunjukkan adalah episode kelima mengenai Kematian Prahasta. Episode kelima
ini terdiri ada dua setting lokasi. Lokasi yang pertama berada di Kerajaan
Pancawita dan lokasi kedua di Kerajaan Alengka.
Beberapa peran yang dimainkan dalam episode tersebut antara lain
Rama, Laksamana, Anila dan Wbisana, dengan setting kerajaan Pancawita. Pada
setting pertama ini, dikisahkan bahwa singkat cerita Rama menceritakan temannya
yang dia harapkan dapat menaklukkan Rahwana. Kepada Rama, Wibisana
mengungkapkan kekuatan rahasia yang dimiliki oleh Rahwana, yang mengatakan
bahwa kekuatannya berada di dalam sihir pedang Mentawa. Sugriwa kemudian
memerintahkan kepada Anila untuk mencuri pedang milik Rahwana.
Peran untuk setting di kerajaan Alengka yaitu Prahasta dan Anila. Dikisahkan
bahwa Prahasta adalah satu-satunya orang yang dipercayai oleh Rahwana untuk
menjaga Pedang Mentawa. dengan trik ini, Anila mengatur cara untuk mencuri
pedang tersebut. Sayang seribu sayang, Prahasta memergokinya dan kemudian
mengejarnya. Ketika berada di perbatasan Alengka, Anila melihat tugu yang
sangat dekat. Dengan sigap, ia turun ke bawah dan akhirnya Prahasta terbunuh
oleh tugu itu.
Dari cerita di episode tersebut, saya berusaha untuk mengungkap
makna etik dan estetikanya. Walaupun secara bahasa da nisi saya sangat terbatas
pemahamannya. Etik berkaitan dengan tingkatan yang bersifat normative, memiliki
hubungan rasa, kesusilaan, akhlak dan moral, menjatuhkan sifat baik atau buruk
terhadap sesuatu. Etika dala pertunjukan wayang yaitu mengenalkan norma-norma
atau aturan yang ada di dalam kehidupan manusia. Mengajarkan norma-norma
kebaikan dan budi pekerti. Wayang sebagai kultur masyarakat jawa banyak sekali
memiliki nilai etika, salah satunya yang
berbunyi adigung, adigang, adiguna , artinya janglah sombong ketika
memiliki kelebihan. “Sabda Pandita Ratu”, secara harfiah artinya adalah
ucapan pandeta (dalam Islam ulama’) lan Kena Wola-wali”, raja
tidak boleh diulang-ulang. Maknanya
adalah seorang pemimpin haruslah
konsekuen untuk melaksanakan apa yang telah diucapkannya. Jadi antara perbuatan
dengan yang diucapkan memiliki keseragaman atau tidak kontradiksi.
Melihat dari sisi estetikanya, wayang banyak memiliki unsur seni.
Estetika (estetis) adalah cabang
filsafat yang membahas tentang seni dan keindahan. Istilah estetika berasal
dari kata Yunani “aesthesis”, yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman
intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Batasan keindahan
sulit dirumuskan karena keindahan itu abstrak, identik dengan kebenaran.
Sehingga keindahan juga memiliki relativitas masing-masing untuk setiap orang. Dilihat
dari unsur pembuatnya, wayang yang terbuat dari kulit hewan dengan
ukiran-ukiran yang sangat detil menyesuaikan tokoh dan wataknya. Seluruh bagian
yang ada dalam pertunjukan wayang memiliki filosofinya masing-masing. Wayang
melambangkan manusia, gunungan melambangkan suatu kehidupan, kelir (kain putih
untuk bayangan wayang) melambangkan langit, sedangkan debog (batang pisang
untuk menacapkan wayang) melambangkan bumi dan sebagainya. Semua mempunyai arti
dan nilai seninya masing-masing. Nilai estetika dari wayang selain itu terletak
pada seni musik gamelannya. Gamelan jawa merupakan kumpulan alat musik Jawa
yang terdiri dari berbagai macam variasi bentuk, ukuran, dan bunyi. Cara
memainkannya pun juga bermacam-macam.
Alat music Gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukkan
wayang antara lain adalah gong, kenong, suling, kendhang, rebab, saron, demung,
dan lainnya. Jika dari banyak jenis gamelan itu dimainkan secara bersamaan,
senada dan selaras akan menghasilkan bunyi yang indah. Seperti halnya manusia,
gamelan dapat dianalogikan sebagai manusia, manusia itu tidak bisa hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia satu dengan manusia yang lain saling
membutuhkan. Manusia juga harus seperti gamelan, harus selaras, saling tolong
menolong dan saling gotong royong antar sesama karena manusia adalah mahluk
sosial. Apabila hal-hal di atas diwujudkan maka akan tercipta keselarasan dalam
hidup dan bermasyarakat.
Selain gamelan, juga ada sinden, atau penyanyi yang mebuat suara
gamelan lebih hidup dan laras untuk didengarkan. Selain itu, para penabuh
gamelan ketika tampil juga selalu mengenakan busana yang seragam dan kompak.
Tak kalah para sinden pun juga demikian. Berdasarkan hasil wawancara kami
kepada Bapak Sumardiyono, yang memberikan tiket untuk kami bisa menonton
wayang, mengatakan bahwa ada 5 dalang yang terlibat dalam keseluruhan
pertunjukkan tersebut. Kelima dalang tersebut adalah Ki Maman, Ki Supono, Ki
Marsudi, Ki Suharno, dan Ki Sarjiko. Kelima dalang tersebut bergantian setiap
harinya sehingga penonton yang menyaksikan setiap hari tidak merasa bosan dan
keindahan dari pertunjukkan wayang tetap terjaga.
Demikian hasil refleksi kami sebagai manusia yang masih belajar,
banyak sekali nilai moral dan keindahan yang dapat kami dapat dari pertunjukkan
wayang kulit. Belum lagi jika nanti menilik sejarahnya, maka sarat akan
pelajaran berharga bagi kehidupan manusia.
Wassalamu’alaikum
wr. wb.