Wednesday 12 November 2014

Mathematics problem

Skyscrapping Feat : Gedung Pencakar langit
“ Sebuah gedung dengan 12 lantai dan ditutupi oleh jendela pada keemat sisinya. Setiap lantai memiliki 38 jendela. Setahun sekali, jendela dalam gedung tersebut dicuci. Biaya mencuci jendela adalah 2 USD per jendela pada lantai 1, 2.5 USD per jendela pada lantai 2, 3 USD per jendea pada lantai 3, begitu seterusnya. Berapa banyak biaya yang dibutuhkan untuk mencuci seluruh jendela dalam gedung tersebut ? Berapa pula biaya yang diperlukan jika sebuah gedung memiliki 30 lantai ? atau n lantai ?
Beberapa level atau cara siswa dalam mengerjakan tugas yang berkaitan dengan pengalaman dunia nyata ( seperti permasalahan di atas) adalah :
  1. Menjumlahkan seluruh biaya dalam tabel
Cara ini memang banyak dilakukan siswa, yaitu dengan mentotal biaya setiap lantainya, kemudian baru dijumlahkan biaya dari setiap lantai. Akan tetapi cara ini tidak dapat digeneralisasikan untuk masalah selanjutnya, seperti jika jumlah lantainya 50, 100 atau 1000 ? tentu akan semakin susah. Sehingga guru harus memberikan arahan kepada siswa untuk bisa menemukan pola – pola hubungan, dengan mendeskripsikan pola nya kemudian mencari hubungan dari setiap pola tersebut.
  1. Mencari pola dengan tabel
Cara ini hampir sama dengan cara 1, hanya saja lebih fokus pada perhitungan, tidak lagi pada variabel yang susah untuk digeneralisasikan. Beberapa langkah yang membantu siswa menemukan pola agar dapat di generalisasika yaitu : a) ketika menghitung biaya setiap lantai, apa yang tetap ? mengapa ? b) apa yang berubah dari setiap lantai dalam tabel ? c) perhatikan pola dan struktrunya, maka akan membentuk sebuah struktur teratur.
  1. Mencari biaya cuci hanya untuk satu lantai
Dengan menghitung biaya satu lantai, atau bisa dengan awal cara 2 diatas. Maka siswa akan tahu pola, yaitu naik 19USD per lantai dan 0.5 USD per jendela per lantai. Sehingga kemungkinan persamaan yang akan dibuat siswa 38(2 USD + 0.5 USD ( n – 1)) = biaya setiap lantai. Nah itu hanya untuk satu lantai, selanjutnya rangsang siswa untuk menemukan persamaan biaya seluruh lantai. Caranya : ceritakan variabel dalam persamaan tersebut dan mengapa seperti itu ?
  1. Menggunakan strategi perbandingan
Pada cara 4 ini, siswa menggunakan perbandingan, yaitu menghitung total biaya untuk setiap lantai dan memasangkannya dengan pasangan lantainya. Cara ini menuntut siswa untuk paham mana lantai yang saling berpasangan. Guru dapat memberikan saran : Bagaimana kamu bisa memasangkannya sehingga terbentuk pola ? jelaskan caramu untuk semua kasus
  1. Menggunakan rata – rata aritmetika
Cara ini lebih nyata dari pada cara sebelumnya, karena jelas hubungan antara total biaya untuk seluruh lantai dan jumlah seluruh lantai. Siswa yang menggunakan cara ini tentu sudah mengerti tentang konsep rata – rata. Mereka menyadari bahwa tidak harus menghitung seluruh biaya dan membagi dengan jumlah lantai saja.
  1. Menggunakan Barisan dan deret aritmetika
Cara ini memang tidak mungkin untuk siswa yang baru belajar aljabar, siswa harus menysun data menjadi sebuah barisan dan deret.


Author : Sarah A Roberts and Jean S lee, Skyscrapping Feat : Mathematical Teacher, vol.107 No .4 November 2013

Edit : Insan Agung N/Math edu

Wednesday 24 September 2014

Mathematics expressions

Mathematicals Expressions in the Book of THE MATHEMATICS THAT EVERY SECONDARY SCHOOL(Sultan&Artzt,2011)
  1. mathematics expressions:mathematics education
    Page.9
Mathematical expressions is 1 + 2 + 3 + …+ n =
The Pronunciation is one plus two plus three plus bla bla bla plus n equals n divide by 2 and multiply by n plus one.
  1. Page.14
Mathematical expressions is x + y < 12
The Pronunciation is x plus y less than twelve
  1. Page.18
Mathematical expressions is 2 = 2 .1
The Pronunciation is two equals two multiply one
  1. Page.26
Mathematical expressions is 1 + 2+ 3+5+4+9+2 = 26
The Pronunciation is one plus two plus three plus five plus four plus nine plus two equals twenty six.
  1. Page.43
Mathematical expressions is x2(x2 – 9 ) = x2 ( x- 3)(x + 3)
The Pronunciation is x square multiply by x square minus nine in the net equals x square multiply x minus three in the net and multiply by x minus three in the net.
  1. Page.46
Mathematical expressions is 2(23) – 5(9) = 1
The Pronunciation is Two multiply twenty three minus five multiply nine equals one
  1. Page.59
Mathematical expressions is 10 ≡ 61 mod 100
The Pronunciation is ten equivalent sixty one mod one hundred
  1. Page.115
Mathematical expressions is = 1.7321…
The Pronunciation is the root of three equals one point seven three twi one bla bla bla
  1. Page.140
Mathematical expressions is
The Pronunciation is the integral of three x plus five equals three x square per two plus five x plus k.
  1. Page.187
Mathematical expressions is =
The Pronunciation is sin alfa multiply cos beta plus sin beta multiply cos alfa equals sin alfa plus beta.

Tuesday 18 March 2014


 Budaya Terus Mencari

Budaya dan aturan adalah dua hal yang “mungkin” saling berkaitan. Pada pembelajaran pun tentu ada aturan dan budayanya. Budaya dan aturan disini adalah aturan atau norma yang baik dan patut dikembangkan, salah satunya “terus dan tetap mencari hal yang mungkin bisa digali lebih dalam tenatang suatu objek yang dipelajari.
Dalam pembelajaran matematika realistik, khususnya. Penelitian yang dilakukan oleh Frye dikelasnya mendefisinikan aturan “tetap melakukan ini” sebagai pekerjaan mencari solusi dari jalan yang sempit, mencari solusi dari suatu permasalahan dengan berbagai solusi yang mungkin ada dan bisa ditemukan.
Di kelasnya Frye, siswa diminta untuk menjawab dua pertanyaan berkenaan dengan pekerjaan mereka, khususnya dalam matematika. Yaitu tentang bagaimana proses mereka menemukan solusi dan memperpanjang atau menindaklanjuti dari pekerjaan mereka tersebut serta tidak cepat puas. Pertanyaan pertama dianalogikan oleh Frye sebagai seorang montir yang melihat motor balap yang baru, kemudian dia mengkonstruksi ulang agar membuat lebih cepat dan aman. Begitu juga dengan siswa ketika belajar matematika, mereka dapat merefleksi pertanyaan berikut:
  1. Apa konsep matematika yang lain yang dapat kita gunakan untuk menyelesaikan permasalahan ini ?
  2. Strategi mana yang lebh effisien ?
  3. Kesalahan apa yang telah saya buat dan saya bisa mengambil pelajaran apa dari kesalahan tersebut ?
Selanjutnya,, pertanyaan kedua berkenaan dengan solusi dari permasalahn yang telah kita selesaikan apakah bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalah amatematika lain. Berikut pertanyaan yang mungkin : Masalah lain apa yang saya bisa selesaikan dengan cara ini ? dan pertanyaan lain apa yang mungkin sayan dapatkan ?
Presentasi dari Jessica ( salah satu murid Frye ) mungkin dapat mengilustrasikan tentang budaya atau aturan terus mencari ini. Dia menegaskan bahwa ini dapat menggunakan pecahan , kemudian dia mengubahnya menjadi desimal tetapi dia tidak percaya representasi dari desimal tersebut. Kemudian dia mengulangi pekerjaan dari awal, dia menkonversi 3 pizza yang dibagikan ke atlet menjadi 3p/7a, dan 1 pizza ke 3 dokter menjadi 1p/3d lalu 0,43p/1a dan 0,33p/1d. Kemudian dia membandingkan dan mendapati bahwa atlet mendapat bagian lebih banyak.
Jessica tidak berhenti disitu saja, dia memperdalam pemahamannya tentang rata – rata. Berdasarkan apa yang telah ia kerjakan, dia mengidentifikasi arti dari jumlah dan perbedaan porsi pizza. Hasilnya berkat kemauan terus mencari dan aturan terus mencari yang ditanamkan Frye, jessica menggeneralisasikan solusi tersebut untuk masalah lan terutama masalah pembagian dan rasio. Perilaku jessica diharapkan ditiru semua siswa dalam pembelajaran matematika, khusunya pada kelas yang diampu Frye ini.

Sumber : The National Council of Teacher of Mathematics (NCTM),August 2013, Teaching children mathematics,Vol.20, No.1
Ditulis kembali oleh : Insan Agung Nugroho, Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Monday 10 March 2014

PMRI

DISKUSI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Pada tulisan ini mengindentifikasi bahwa ada tiga pola atau contoh dalam mengembangkan aturan matematika. Dengan menggunakan pekerjaan siswa sangatlah penting. Karena aturan atau norma adalah tentang pekerjaan atau kegiatan di matematika, penggunaan pekerjaan matematika biasa untuk mengkomunikasikan aturan. Selain itu juga siswa terbiasa dengan pekerjaan mereka, dengan menggunakan pekerjaan siswa diharapkan dapat memfasilitasi siswa dalam memahami aturan atau norma tersebut. Dengan membandingkan pekerjaan siswa juga sangat membantu siswa dalam memahami aturan secara jelas sesuai dengan kemampuan metakognisi mereka pada pekerjaan mereka sendiri.Menunjuk dan menyalahkan siswa yang melanggar aturan bisa jadi menyakiti perasaan merekan, sehingga perhatian lebih perlu diberikan kepada siswa yang tidak mengikuti aturan yang menandakan “kompetensi” guru. Di data aturan 1 – 3, guru membuat langkah – langkah yang jelas dan eksplisit. Untuk aturan 4, guru juga harus secara implisit dengan tidak menunjuk dan menyalahkan siswa yang melakukan pelanggaran.
Tiga pola ini dapat ditemukan pada strategi yang biasa digunakan untuk mengenalkan aturan. Sebagai contoh, Voigt (1995) mendiskusikan cara “tidak langsung” dalam mengenalkan aturan tentang “ perhitungan sebagai solusi matematika yang paling bagus”. Strategi ini menyorti pokok dari solusi siswa yang paling bagus. Jadi, strategi ini menggunakan pekerjaan siswa dan siswa membandingkan pekerjaan mereka secara implisit. Ini juga menghindari evaluasi negatif yang eksplisit, cara tidak langsung ini menjaga perasaan siswa yang tidak mengikuti aturan norma matematika.
Mempelajari aturan membutuhkan pemahaman tentang hubungan berbagai aturan. Sebuah kelas pada suatu sekolah di Jepang terdapat suatu komunitas dimana guru dan siswa tinggal bersama, berunding tentang suatu arti, berbagi tujuan bersama, dan membentuk identitas diri mereka. Itu adalah bentuk dari “ Pelatihan dalam suatu komunitas”. Suatu generasi dari suatu komunitas dapat memperbaiki, mengubah, atau menghilangkan berbagai jenis pola yang disebut dengan aturan, standar, kewajiban, aturan, kebiasaan, dan kesukaan. Berdasarkan aturan matematika diatas, saya mengidentifikasi bahwa “ dalam matematika Anda tidak bisa menulis apa yang Anda punya sebagai suatu yang benar “. Ini sesuai dengan moral umum “ Anda tidak seharusnya berbohing kepada orang “. Aturan matematika nampaknya perlu dikembalikan atau disahkan dengan aturan sosial.Inilah mengapa aturan perlu diserukan kepada para pendidik dan para siswa. Selain itu, berdasarkan perhatian guru terhadap perlakuan atau treatmen yang dilakukan tidak memuaskan pemenuhan aturan matematika. Perlakuan atau treatmen guru nampaknya sesuai dengan aturan sosial, seperti “ Usaha untuk menjelaskan sesuatu dari guru perlu dihormati”.
Selanjutnya, aturan kadang menyebabkan suatu dilema. Kenyataannya, aturan 1 dan 2 terlihat bertentangan. Aturan 4 mengindikasikan bahwa kegunaannya tidak selalu memberikan nilai tertinggi. Aturan mana yang akan dipakai itu tergantung konteks dimana siswa berada. Dalam kerangka teoritik, aturan tidak dapat menggambarkan kebiasaan siswa. Aturan tidak lebih sebagai pengetahuan kebudayaan.

Monday 3 March 2014

PMRI Pemodelan

MODEL GUNUNG ES
Guru sebagai komponen penting dalam kegiatan belajar-mengajar, tentunya ingin agar siswa nya mampu mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Tantangan seorang guru matematika yaitu harus mampu mengajarkan matematika dengan baik agar siswa dapat mengerti. Salah satunya yaitu dengan mengembangkan pembelajaran matematika. Pengembangan pembelajaran menuntut kreatifitas dari seorang guru agar siswa dapat memahami materi yang disampaikan. Salah satu model yang berpusat pada siswa yaitu ‘ Model Gunung Es’ yang dikemabangkan oleh Freudenthal dan diterapkan disekolah menengah di USA.
Model gunung es ini untuk mendukung guru dalam proses dan strategi pembelajaran. Model ini terbukti mampu mengilustrasikan siswa belajar tentang model matematika sehingga menjadi matematika formal. Pengembangan model ini berdasarkan bentuk dari gunung es, dimana kelompok guru bekerja bersama untuk mencari gambaran dari masalah matematika yang diberikan dan berdiskusi tenatng rangkaian aktivitas pembelajaran. Model gunung es ini terdiri dari informal, pre-formal, dan formal.
Pada model gunung es ada bagian atas gunung dan bagian bawah gunung yang mana lebih luas dari bagian atasnya yang disebut “ floating capacity”. Bagian atas gunung es menggambarkan langkah formal atau arti simbol secara formal, sedangkan bagian bawah gunung es yang mana paling besar menggambarkan gabungan cara – cara informal, termasuk gambaran nyata dari konteks. Kiasan ini dapat digunakan dalam berbagai permasalahan matematika.
Secara umum dalam mencapai tahap formal tergantung dari level siswa dan penggunaan “floating capacity”. Dimana gambaran formal memang lebih banyak dibangun. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa jika siswa sudah sampai memahami secara formal mereka tidak akan pernah menggunakan lagi pemahaman preformal. Sebaiknya siswa tetap menggunakan pemahaman preformal, khususnya jika menemui masalah baru yang tidak biasanya. Jadi sangat beralasan bahwa pembelajaran matematika yang lebih banyak berkaitan dengan “problem solving” tidak hanya menuntut siswa untuk memahami semua cara formal, tetapi masalah dapat juga diselesaikan dengan pendekatan informal atau preformal.
Sumber : “Beneath the Tip of the Ice berg : Using Representations to Support Students Understanding” Oleh David C Webb, Nina Boswinkel, dan Truus Dekker
Ditulis kembali oleh : Insan Agung Nugroho, Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Monday 24 February 2014


Cara Matematisasi Kehidupan Nyata



        Pendekatan Matematika realistik Indonesia (PMRI) memang identik dengan pembelajaran matematika yang menggunakan sesuatu yang real atau nyata dalam kehidupan sehari – hari. Semua konteks masalah nyata tentunya tidak semua bisa di matematisasi untuk digunakan dalam pembelajaran. Dan tentunya bagaimana cara mematematisasi masalah dalam kehidupan nyata.
      Traffers menjelaskan pandangan bagaimana cara mematematisasikan masalah kehidupan nyata ke dalam pembelajaran matematika. Dua pandangan cara matematisasi ini yaitu matematika horizontal dan matematika vertikal.
     Pandangan cara matematisasi ini diadopsi oleh Freudhental dalam bukunya yang terakhir yang menyatakan bahwa mematematisasikan secara horizontal yaitu masalah berangkat dari dunia kehidupan untuk diinterpretasikan kedalam simbol – simbol matematika. Sedangkan mematematisasikan secara vertikal membawa dunia nyata ke dalam simbol – simbol matematika. Secara konsep kedua pandangan ini sama dan menekankan kedua aktivitas ini melingkupi seluruh aktivitas matematika.
        Traffers juga menjelaskan bahwa pendekatan empirik hanya lebih fokus pada matematisasi horizontal, sedangkan pendekatan struktural hanya membatasi pada matematisasi secara horizontal. Dan pendekatan secara mekanis tidak ada pada keduanya. Seperti dikatakan Trafer dan Goffer, cara matematisasi ini mempunyai peran yang sangat penting dalam pendidikan khususnya dalam pembelajaran matematika. Pandangan ini mempunyai peran dalam membentuk model – model matematika dari dunia nyata. 

Sumber : Artikel " The Didactical Use of Models in Realistic Mathematics Education : An Example From A Longitudinal Trajectory On Percentage" oleh Marja Van Den Heuvel-Panhuizen 
Ditulis kembali oleh : Insan Agung Nugroho, Mahasiswa pendidikan matematika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sunday 16 February 2014

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia )

Pemodelan Matematika dari Situasi Kehidupan Nyata

Jika tujuan dari pembelajaran matematika ingin agar siswa dapat me-matematisasi keadaan nyata disekitar mereka, maka situasi sebagai potensi untuk mengembangkan kemampuan matematisasi kejadian nyata perlu di desain dengan hati – hati. Usaha untuk mendorong siswa menjadi sumber belajar matematika, dengan kata lain siswa menganggap diri mereka sebagai matematikawan maka kita sebagai guru dalam pembelajaran matematika perlu menyertakan atau melibatkan mereka dalam menemukan suatu konsep matematika sehingga mereka akan lebih paham dengan pemahaman mereka masing – masing.
Secara terus menerus, kita sebagai guru harus menjelaskan kepada siswa, terutama pada siswa sekolah dasar dan menengah pertama bahwa matematika itu sangat nyata, disetiap kehidupan kita mengandung makna matematika. Dengan demikian akan memunculkan semangat dan minat siswa dalam mempelajari matematika karena matematka tidak lepas dari kehidupan disekitar siswa. Beberapa contoh yang sangat sederhana mengenai konsep matematika dikehidupan kita sehari – hari antara lain seperti beberapa nomor atau angka pada suatu tanda, pada nomor telepon, pada alamat rumah. Selain itu kita juga bisa melihat konsep matematika bentuk geometri pada bentuk hidangan atau makanan, cangkir atau mangkok, kotak dan benda benda lainnya disekitar kita. Sehingga secara umum bahwa matematika itu nyata.
Situasi atau keadaan yang mungkin bisa dimatematisasi oleh siswa setidaknya mengandung tiga komponen berikut, yatiu :
  1. Kemungkinan atau potensi situasi untuk dijadikan model matematika harus ada
Sebagai contoh perjalanan bus dan kereta yang mana berapa orang yang naik dan yang turun dapat dimodelkan dalam matematika sebagai penjumlahan dan pengurangan. Kemudian masalah Toko kelontong dan toko eceran, ini bisa dimodelkan matematika dengan mengumpulkan data , misal harga pembelian, harga penjualan, untung, rugi suatu barang , kemudian ada suatu masalah misal tentang berapa harga satu barang tersebut maka masalah ini perlu diselesaikan dengan memodelkan dahulu kedalam bentuk matematika. Jadi secara umum hampir semua situasi bisa dimodelkan dalam bentuk matematika.
  1. Situasi atau keadaan nyata tersebut harus berkaitan dengan kehidupan yang berkaitan dengan kehidupan sehari – hari siswa, sehingga mereka tahu apa yang sedang dilakukan.
Situasi nyata tidak boleh jauh dari kehidupan sehari – hari siswa, ini dimaksudkan agar siswa tidak bingung dengan apa yang mereka kerjakan. Sebagai contoh seorang siswa menggambar kalung dengan dua puluh dua (22) manik – manik sekaligus menentukan uang koin yang dapat digunakan untuk membeli kalung tersebut, yaitu dengan menggambarkan bentuk uang koin dan harga kalung tersebut secara matematis disertai dengan alasannya.
  1. Situasi harus mendorong siswa untuk menjawab pertanyaan, memahami suatu pola, bertanya mengapa dan kenapa sesuatu itu terjadi. Jadi disini ditekankan Inquiry atau penemuan terhadapa situasi nyata untuk dimatematisasi kan. Pertanyaan penemuan dapat muncul melalui interaksi dengan dunia disekitar kita, dari mencari suatu hubungan, dari percobaan menyelesaikan suatu masalah. Sehingga ketika masalah sudah dipahami, itu dapat dijadikan dasar sebagai pemodelan matematika.

Sumber : Sebuah tulisan yang berjudul “ Finding Situation for Mathematizing “ dari subbab “Mathematics” or “Mathematizing “ ?
Ditulis kembali oleh : Insan Agung Nugroho, Pendidikan Matematika Fakultas Sain dan Teknologi , UIN Sunan Kalijaga.

Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu-Etik dan Estetika Pertunjukan Wayang

Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Prof Marsigit MA. Etik dan Estetika Pertunjukan Wayang Oleh : Insan Agung Nugroho/PmC 2017 Ass...