Tuesday 18 March 2014


 Budaya Terus Mencari

Budaya dan aturan adalah dua hal yang “mungkin” saling berkaitan. Pada pembelajaran pun tentu ada aturan dan budayanya. Budaya dan aturan disini adalah aturan atau norma yang baik dan patut dikembangkan, salah satunya “terus dan tetap mencari hal yang mungkin bisa digali lebih dalam tenatang suatu objek yang dipelajari.
Dalam pembelajaran matematika realistik, khususnya. Penelitian yang dilakukan oleh Frye dikelasnya mendefisinikan aturan “tetap melakukan ini” sebagai pekerjaan mencari solusi dari jalan yang sempit, mencari solusi dari suatu permasalahan dengan berbagai solusi yang mungkin ada dan bisa ditemukan.
Di kelasnya Frye, siswa diminta untuk menjawab dua pertanyaan berkenaan dengan pekerjaan mereka, khususnya dalam matematika. Yaitu tentang bagaimana proses mereka menemukan solusi dan memperpanjang atau menindaklanjuti dari pekerjaan mereka tersebut serta tidak cepat puas. Pertanyaan pertama dianalogikan oleh Frye sebagai seorang montir yang melihat motor balap yang baru, kemudian dia mengkonstruksi ulang agar membuat lebih cepat dan aman. Begitu juga dengan siswa ketika belajar matematika, mereka dapat merefleksi pertanyaan berikut:
  1. Apa konsep matematika yang lain yang dapat kita gunakan untuk menyelesaikan permasalahan ini ?
  2. Strategi mana yang lebh effisien ?
  3. Kesalahan apa yang telah saya buat dan saya bisa mengambil pelajaran apa dari kesalahan tersebut ?
Selanjutnya,, pertanyaan kedua berkenaan dengan solusi dari permasalahn yang telah kita selesaikan apakah bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalah amatematika lain. Berikut pertanyaan yang mungkin : Masalah lain apa yang saya bisa selesaikan dengan cara ini ? dan pertanyaan lain apa yang mungkin sayan dapatkan ?
Presentasi dari Jessica ( salah satu murid Frye ) mungkin dapat mengilustrasikan tentang budaya atau aturan terus mencari ini. Dia menegaskan bahwa ini dapat menggunakan pecahan , kemudian dia mengubahnya menjadi desimal tetapi dia tidak percaya representasi dari desimal tersebut. Kemudian dia mengulangi pekerjaan dari awal, dia menkonversi 3 pizza yang dibagikan ke atlet menjadi 3p/7a, dan 1 pizza ke 3 dokter menjadi 1p/3d lalu 0,43p/1a dan 0,33p/1d. Kemudian dia membandingkan dan mendapati bahwa atlet mendapat bagian lebih banyak.
Jessica tidak berhenti disitu saja, dia memperdalam pemahamannya tentang rata – rata. Berdasarkan apa yang telah ia kerjakan, dia mengidentifikasi arti dari jumlah dan perbedaan porsi pizza. Hasilnya berkat kemauan terus mencari dan aturan terus mencari yang ditanamkan Frye, jessica menggeneralisasikan solusi tersebut untuk masalah lan terutama masalah pembagian dan rasio. Perilaku jessica diharapkan ditiru semua siswa dalam pembelajaran matematika, khusunya pada kelas yang diampu Frye ini.

Sumber : The National Council of Teacher of Mathematics (NCTM),August 2013, Teaching children mathematics,Vol.20, No.1
Ditulis kembali oleh : Insan Agung Nugroho, Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Monday 10 March 2014

PMRI

DISKUSI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Pada tulisan ini mengindentifikasi bahwa ada tiga pola atau contoh dalam mengembangkan aturan matematika. Dengan menggunakan pekerjaan siswa sangatlah penting. Karena aturan atau norma adalah tentang pekerjaan atau kegiatan di matematika, penggunaan pekerjaan matematika biasa untuk mengkomunikasikan aturan. Selain itu juga siswa terbiasa dengan pekerjaan mereka, dengan menggunakan pekerjaan siswa diharapkan dapat memfasilitasi siswa dalam memahami aturan atau norma tersebut. Dengan membandingkan pekerjaan siswa juga sangat membantu siswa dalam memahami aturan secara jelas sesuai dengan kemampuan metakognisi mereka pada pekerjaan mereka sendiri.Menunjuk dan menyalahkan siswa yang melanggar aturan bisa jadi menyakiti perasaan merekan, sehingga perhatian lebih perlu diberikan kepada siswa yang tidak mengikuti aturan yang menandakan “kompetensi” guru. Di data aturan 1 – 3, guru membuat langkah – langkah yang jelas dan eksplisit. Untuk aturan 4, guru juga harus secara implisit dengan tidak menunjuk dan menyalahkan siswa yang melakukan pelanggaran.
Tiga pola ini dapat ditemukan pada strategi yang biasa digunakan untuk mengenalkan aturan. Sebagai contoh, Voigt (1995) mendiskusikan cara “tidak langsung” dalam mengenalkan aturan tentang “ perhitungan sebagai solusi matematika yang paling bagus”. Strategi ini menyorti pokok dari solusi siswa yang paling bagus. Jadi, strategi ini menggunakan pekerjaan siswa dan siswa membandingkan pekerjaan mereka secara implisit. Ini juga menghindari evaluasi negatif yang eksplisit, cara tidak langsung ini menjaga perasaan siswa yang tidak mengikuti aturan norma matematika.
Mempelajari aturan membutuhkan pemahaman tentang hubungan berbagai aturan. Sebuah kelas pada suatu sekolah di Jepang terdapat suatu komunitas dimana guru dan siswa tinggal bersama, berunding tentang suatu arti, berbagi tujuan bersama, dan membentuk identitas diri mereka. Itu adalah bentuk dari “ Pelatihan dalam suatu komunitas”. Suatu generasi dari suatu komunitas dapat memperbaiki, mengubah, atau menghilangkan berbagai jenis pola yang disebut dengan aturan, standar, kewajiban, aturan, kebiasaan, dan kesukaan. Berdasarkan aturan matematika diatas, saya mengidentifikasi bahwa “ dalam matematika Anda tidak bisa menulis apa yang Anda punya sebagai suatu yang benar “. Ini sesuai dengan moral umum “ Anda tidak seharusnya berbohing kepada orang “. Aturan matematika nampaknya perlu dikembalikan atau disahkan dengan aturan sosial.Inilah mengapa aturan perlu diserukan kepada para pendidik dan para siswa. Selain itu, berdasarkan perhatian guru terhadap perlakuan atau treatmen yang dilakukan tidak memuaskan pemenuhan aturan matematika. Perlakuan atau treatmen guru nampaknya sesuai dengan aturan sosial, seperti “ Usaha untuk menjelaskan sesuatu dari guru perlu dihormati”.
Selanjutnya, aturan kadang menyebabkan suatu dilema. Kenyataannya, aturan 1 dan 2 terlihat bertentangan. Aturan 4 mengindikasikan bahwa kegunaannya tidak selalu memberikan nilai tertinggi. Aturan mana yang akan dipakai itu tergantung konteks dimana siswa berada. Dalam kerangka teoritik, aturan tidak dapat menggambarkan kebiasaan siswa. Aturan tidak lebih sebagai pengetahuan kebudayaan.

Monday 3 March 2014

PMRI Pemodelan

MODEL GUNUNG ES
Guru sebagai komponen penting dalam kegiatan belajar-mengajar, tentunya ingin agar siswa nya mampu mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Tantangan seorang guru matematika yaitu harus mampu mengajarkan matematika dengan baik agar siswa dapat mengerti. Salah satunya yaitu dengan mengembangkan pembelajaran matematika. Pengembangan pembelajaran menuntut kreatifitas dari seorang guru agar siswa dapat memahami materi yang disampaikan. Salah satu model yang berpusat pada siswa yaitu ‘ Model Gunung Es’ yang dikemabangkan oleh Freudenthal dan diterapkan disekolah menengah di USA.
Model gunung es ini untuk mendukung guru dalam proses dan strategi pembelajaran. Model ini terbukti mampu mengilustrasikan siswa belajar tentang model matematika sehingga menjadi matematika formal. Pengembangan model ini berdasarkan bentuk dari gunung es, dimana kelompok guru bekerja bersama untuk mencari gambaran dari masalah matematika yang diberikan dan berdiskusi tenatng rangkaian aktivitas pembelajaran. Model gunung es ini terdiri dari informal, pre-formal, dan formal.
Pada model gunung es ada bagian atas gunung dan bagian bawah gunung yang mana lebih luas dari bagian atasnya yang disebut “ floating capacity”. Bagian atas gunung es menggambarkan langkah formal atau arti simbol secara formal, sedangkan bagian bawah gunung es yang mana paling besar menggambarkan gabungan cara – cara informal, termasuk gambaran nyata dari konteks. Kiasan ini dapat digunakan dalam berbagai permasalahan matematika.
Secara umum dalam mencapai tahap formal tergantung dari level siswa dan penggunaan “floating capacity”. Dimana gambaran formal memang lebih banyak dibangun. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa jika siswa sudah sampai memahami secara formal mereka tidak akan pernah menggunakan lagi pemahaman preformal. Sebaiknya siswa tetap menggunakan pemahaman preformal, khususnya jika menemui masalah baru yang tidak biasanya. Jadi sangat beralasan bahwa pembelajaran matematika yang lebih banyak berkaitan dengan “problem solving” tidak hanya menuntut siswa untuk memahami semua cara formal, tetapi masalah dapat juga diselesaikan dengan pendekatan informal atau preformal.
Sumber : “Beneath the Tip of the Ice berg : Using Representations to Support Students Understanding” Oleh David C Webb, Nina Boswinkel, dan Truus Dekker
Ditulis kembali oleh : Insan Agung Nugroho, Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu-Etik dan Estetika Pertunjukan Wayang

Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Prof Marsigit MA. Etik dan Estetika Pertunjukan Wayang Oleh : Insan Agung Nugroho/PmC 2017 Ass...